Rabu, 22 Desember 2010

ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH

Seorang Guru Mursyid, dalam peran dan kiprahnya bagi ummat atau masyarakat, salah satunya adalah bahwa kehadirannya menjadi “jawaban” bagi setiap dan segenap pertanyaan permasalahan hidup “kekinian” pada zamannya. Bukan pada zaman sebelumnya ataupun pada zaman setelahnya. Rupanya, melalui Guru Mursyid inilah cara Allah SWT memberi karunia hidayah kepada siapa pun hamba-Nya, yang dikehendaki untuk menjadi orang baik dan selamat dunia akhirat.

Sebaik dan sesempurna bagaimanapun kebijakan seorang Guru Mursyid yang hidup pada zaman tertentu, belum tentu cocok untuk secara “mentah-mentah” diterapkan pada zaman setelahnya. Semangat, makna, nilai atau hikmah di sebalik kebijakan tersebutlah yang bisa dipetik, namun metode beserta tatacara lainnya tidaklah “applicable”. Karena hal beginilah maka kebijakan Guru Mursyid Penerus atau Pengganti, tidak mungkin sekedar “copy paste” dari Guru Mursyid sebelumnya. Guru Mursyid Penerus atau Pengganti niscaya punya “benang merah roso” yang tersendiri. Hal ini karena zaman sudah beda, ummat yang dihadapi juga beda, tantangan persoalan yang mesti dipecahkan juga beda, cara atau siasat dalam memecahkannya serta pendekatannya juga beda.

Salah satu contoh, Romo Kyai Sepuh, yakni As-Syeikh Muhammad ‘Oestman Al Ishaqi RA, pada masa ke-Mursyid-annya, sempat menyusun beberapa buah kitab yang isinya menjelaskan dan menuntun muridiin bagaimana kewajiban dan tatakrama Al Akhlaqul Karimah murid kepada Guru Mursyidnya. Salah satu kitab dimaksud ialah “Khulashoh Al Wafiyah”. Kitab tersebut kemudian dijadikan wadlifah istiqomah oleh para Imam Khususi untuk dibaca di depan para jamaah muridin saat setiap menjelang Dzikir Khususiyah.

Pada era (zaman) yang beda, Guru Mursyid Penerus, yakni Syaikhuna Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA sempat Dawuh. Dawuh Beliau lebih-kurang isinya sebagai berikut : Saya paling takut jika harus membicarakan atau menjelaskan tentang apa-apa yang menyangkut kewajiban serta tatakrama atau adab murid terhadap Guru. Kenapa demikian? Karena dalam hal ini saya berada pada posisi yang “mendapat bagian”. Bagaimana saya bisa atau mampu menjaga diri atau mengendalikan nafsu saya untuk tidak terjebak pada sifat basyariyah saya?

Selanjutnya Beliau RA menjelaskan : Modal utama bagi pribadi seorang murid di dalam bertarekat itu lebih terletak pada kejujuran diri dan kesungguhan. Jika seorang murid mampu untuk jujur dan bersungguh-sungguh, maka untuk menunaikan kewajiban serta memegang tatakrama atau adab, baik terhadap Guru maupun terhadap lain-lainnya itu akan menjadi hal yang bersifat otomatis. Ketaqwaan kepada Allah, perasaan “takut” kepada Guru Mursyidnya, perasaan “gundah gelisah” di saat di hadapan Gurunya, tatakrama dan seterusnya, itu akan muncul sebagai ekspresi dari dalam nurani diri sendiri. Tatakrama yang ternampakkan secara dhohir tersebut justru hanya sebagai salah satu dari “ciri penanda” atau sekaligus sebagai “alat pembeda” antara mana murid yang jujur diri dan bersungguh-sungguh dan mana murid yang tidak. Oleh karena itu maka rasanya tidaklah terlalu pas jika tatakrama atau adab murid dikemas menjadi kewajiban yang secara dogmatis diberlakukan atau diikatkan oleh Guru kepada murid-muridnya.

Karena itu pula, barangkali, di saat dimaturi untuk cetak ulang kitab “Khulashoh Al Wafiyah” tersebut, Beliau RA mengurungkan. Selanjutnya Beliau RA justru memasukkannya menjadi bagian dari juz-juz terakhir dalam kitab yang disusunnya. Al Muntakhobat, yang lima juz itu. Sebuah kitab dengan khazanah pembahasan ilmiyah yang lengkap dan tuntas, namun sekaligus tuntunan praktis bagi para pribadi yang bersungguh-sungguh ingin mencari dan meniti jalan kebenaran yang hakiki.

Demikianlah contohnya. Contoh untuk menegaskan pesan bahwa untuk zaman yang beda - oleh Guru yang beda - maka kebijakan “roso” dan metode juga pasti beda. Tentu, contoh di atas tidaklah dimaksudkan untuk disalahpahami sebagai “membandingkan” antara yang satu dengan lainnya. Kita telah sama-sama memahami dan menyadari bahwa perilaku “membandingkan” dan/atau “menyamakan/menganggap sama” Guru yang satu dengan lainnya merupakan perilaku haram.

Karenanya, totalisme dalam ber-Guru menjadi penting terutama bagi pribadi murid yang sempat mengalami hidup dan menjalani tarekat dalam 2 masa sehingga berguru kepada 2 orang Guru Mursyid. Sangatlah naïf apabila di antara mereka, misalnya, kemudian mengatakan : Dulu, biasanya Kyai A itu seperti ini, makanya kita mestinya begini. Lha sekarang Kyai B malah berubah seperti itu. Mestinya kita kan tidak begitu. Dan seterusnya.

(Semua yang benar dari Syaikhunal-Karim Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi – Rodlia-Allaahu Anhu Wa Ardloohu Wa Nafa’anaa Bi Hii Wa Bi Uluumihii Fid-Daaroiin Aamiiin – dan yang salah dari pribadi)

Selasa, 05 Oktober 2010

SEMOGA BERMANFAAT

Teman-teman Sedulur Se-“Cawan Teguk Air-Minum” (Fil-Masyrob),

Saya sempat melihat di Beranda fb saya, ada teman yang menautkan statusnya dengan status orang lain. Setelah saya baca, status orang lain dimaksud, berisi uraian atau penjelasan tentang Makrifat, Istiqomah, beserta fadlilah-fadlilahnya dan seterusnya. Jujur, saya mengenal orang dimaksud, dan saya yakin beliau ybs juga mengenal saya. Setahu saya, beliau ini juga murid tarekat. Namun rupanya akhir-akhir ini jarang kelihatan atau sudah agak lama tidak aktif dalam kegiatan di pertemanan Al Khidmah. Saya juga mencoba masuk dan membaca status-statusnya yang lain. Hampir seluruhnya, memang berisi wacana uraian atau penjelasan dalam tataran “berangkat” atau “meniti perjalanan” atau “suluk” ilaa Hadroti-Allahi Sub-haanah. Memperhatikan koment-koment teman-temannya, banyak juga yang sempat kagum terhadap beliau atau isi statusnya.

Melalui tulisan ini, saya sekadar ingin mengingatkan diri saya sendiri, dengan berbekal sedikit apa yang mampu saya serap dan resapkan dari Syaikunal-Kaamil Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA, wa Bi BarkatiHhi wa KaromaatiHhi wa ‘UluumiHhi wa AsrooriHhi, semoga juga ada manfaatnya bagi yang lain. Amin.

Kita, memang diharuskan menjalankan / mengikuti / meniru semua apa yang telah diteladankan / diajarkan / ditata / dididikkan oleh Guru kita RA. Akan tetapi, mohon dan semoga tidak keliru, kita TIDAK DIANJURKAN untuk berbuat / bersikap / bergaya / berposisi MENYERUPAI seperti Guru kita RA ; terutama dalam hal bagaimana Guru kita RA, selaku Sang Penuntun, mendidik atau mentarbiyah kita para murid-muridnya. Karena otorisasi tarbiyyah itu hanya di Murobbi Guru. Jika seorang murid melakukan perbuatan “menyerupai” Gurunya (“talbis”) maka dikhawatirkan, wa na’uudzu billaaHh, dirinya akan jatuh dalam jurang syirik keguruan. Demikian pula sebaliknya, kita selaku murid, TIDAK DIANJURKAN untuk menerima didikan atau menyerap tarbiyyah dari orang atau sumber lain, selain Guru kita RA.

Untuk keperluan dan atas niat tular-tular kebaikan, tadzkiroh atau lain sejenisnya, kepada sesama teman murid, kita bisa menyampaikannya dengan mendahulukan mencantumkan sumber dari mana atau dari siapa kita peroleh. Misalnya : “Dulu Yai pernah Dawuh seperti ini…,” atau “Saya ingat dulu Yai pernah menegur saya dengan Dawuh begini …” dan begitu seterusnya. Begitulah kita diajari dan dididik. Tentu dan pasti bukan untuk kepentingan diri keunggulan nama Sang Guru, tapi supaya dalam diri kita tertanam Akhlaq Al Karimah.

Kenapa demikian? Karena kita meyakini bahwa hidayah beserta semua nilai manfaat, dun-yan wa ukhron, sebagai karunia pemberian Allah SWT itu, hanya bisa tersalurkan jika melalui Akhlaq Al Karimah, sebagaimana halnya dengan kandungan Al Qur’an Al Karim yang hanya melalui Rasulullah SAW. Jadi kalau mau dibalik dalam kalimat Tanya : Bagaimana mungkin seseorang bakal memperoleh Hidayah dari Allah SWT, sementara ilmu yang diserap bersumber dari atau melalui orang yang tidak berakhlaq?

Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita, melalui tuntunan guru kita RA. Juga, semoga tulisan ini mengarah dan diarahkan untuk kebaikan semuanya. Bukan justru untuk beradu argument atau merasa disalahkan atau ingin menyalahkan orang lain.

Rabu, 08 September 2010

Lebaran Kita ; Hari Raya Yang Mana?

Melalui pengajian-pengajian yang umum, kita sering mendengar dan mendapatkan pengertian bahwa Hari Raya, atau Lebaran, yakni 1 Syawal itu, dimaknai sebagai hari saat kita Merayakan Kemenangan. Memenangkan apa? Kita telah memenangkan Iman dan akal kita, sekaligus mengalahkan dorongan nafsu dan ajakan setan, setelah terbukti dengan melalui puasa Romadlon sebulan penuh beserta amalan-amalan lain yang menyertainya.

Secara kultur di kampung-kampung, sebagian masyarakat merayakan dan memaknai Lebaran sebagai yang serba baru. Ada yang mentarget renovasi rumah harus selesai sebelum lebaran hingga bisa dinikmati saat para tetamu berkunjung. Sebagian lagi tergoda dengan terima THR hingga pingin bersegera mengajak keluargannya ke mall, memborong pakaian supaya baru saat lebaran. (Tidak ada salahnya juga karena hal ini sudah menjadi budaya, dan mungkin masih bisa diambil positifnya dari sisi syiar Islam).

Namun, saya teringat akan salah satu isi pengajian Beliau RA (saat Beliau RA masih sehat, suatu sore hari di bulan Romadlon, kalau tidak keliru tahun 1999). Beliau RA menerangkan dengan kalimat tanya : ‘Iied atau Hari Raya itu hakikatnya bagimana sih? Tentu, ini dari sisi pandang akhlaq dan keimanan. Maka Beliau mengutip Dawuh dari shohabat Anas bn Malik RA. Uraian Beliau RA (secara pengertian dan kurang-lebihnya) seperti berikut ini.

Seseorang mukmin, dikatakan baru pantas merayakan kemenangannya atau “berhari raya” apabila :

Pertama ; Dalam sehari-harinya, seluruh waktunya selama 24 jam, setelah didaftar semua perilaku, gerak hati atau apa pun yang menyangkut dirinya, dipastikan bahwa dia bersih dan samasekali tidak terdapat dosa atau hal yang mengarah ke kemaksiatan menurut Allah SWT.

Kedua ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah wafat, dipanggil menghadap ke Hadirat Allah SWT, dengan dua kalimat syahadat, membawa iman, selamat dari godaan setan, dan karenanya husnul-khotimah.

Ketiga ; Sudah terbukti berhasil melewati Shiroothol-Mustaqiem dan terhindar dari siksaan Malaikat Zabaniyyah.

Keempat ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam sorga oleh Allah SWT dan terbebas dari siksa api neraka.

Kelima ; Sudah terbukti dikaruniai oleh Allah dapat melihat Dzat-Nya Yang Al-‘Adhiem, Al-Kariem, Yang Maha Sempurna.

Kemudian, dengan nada setengah menggoda, Beliau RA melontar pertanyaan ke kita, para jamaah, : “Sampun. Monggo. Riyoyo Sampean kabeh saiki iki, riyoyo sing endi?” ( = Nah, kini kita sudah paham. Sekarang saya nanya, Hari Raya Kalian yang sekarang ini, kategori Hari Raya yang mana?).

Jumat, 03 September 2010

Sajak D. Zawawi Imron : IBU

Sajak : D. Zawawi Imron

IBU

Ibu,

Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Ibu,

Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu

Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku

Sabtu, 14 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (2)

Alkisah, ada seorang murid yang - boleh dikata - terhitung senior. Dia alim dan telah sukses merintis, mengasuh dan membesarkan pesantrennya. Dalam hitungan angka, santri yang mondok di tempatnya serta para alumni lulusannya sudah mencapai ribuan. Sukses berikutnya, dia mendirikan sebuah Perguruan Tinggi Agama. Dibangunnya gedung dua lantai, membentuk huruf U mengelilingi area lapangan yang luas. Dibangun di atas tanah yang luas. Posisinya berjarak lebih kurang 500m dari Ndalem dan pondoknya.

Sekitar sebulan menjelang acara hajatan tahunan di tempatnya, yakni majlis haul, dia sowan untuk matur kepada Gurunya, Beliau RA. Dua butir penting yang dia maturkan dan pingin mendapat restu dari Beliau RA. Yakni pertama, lokasi majlis haul ingin dipindah dari yang biasa tiap tahun di pondoknya, beralih ke lapangan di depan Perguruan Tinggi yang baru dibangunnya itu. Alasannya masuk akal : area lokasi lebih luas sehingga jamaah yang hadir bisa utuh, tidak terpencar. Kedua, dia minta ijin untuk diperbolehkan mengundang seorang penceramah yang, di masa itu, notabene sangat popular dan berskala nasional.

Meskipun tidak diucapkan namun sudah barang tentu bisa kita tebak. Bahwa, rupanya, ada harapan dengan bekumpulnya umat di situ, lebih-lebih rawuhnya Beliau RA di tempat itu, syiar dan imej Perguruan Tingginya di mata masayarakat secara otomatis akan terangkat. Tanpa harus mengeluarkan dana lagi untuk promosi. Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui. Maksudnya mungkin seperti itu

Tapi apa yang kemudian menjadi respon jawaban Beliau RA setelah dimaturinya itu? Dengan suara rendah sambil tersenyum, Beliau RA Dawuh “Yo Wis … tak pikire disek. Engkok yaopo, entenono…. Yoo ..!? ” (Ya sudah. Akan saya pikirkan terlebih dahulu. Bagaimana nanti keputusan saya, mohon kamu tunggu aja, yaa?).

Akan tetapi selama berhari-hari, bahkan berganti minggu, dia tunggu Dawuh Beliau RA tidak kunjung turun. Orang-orang yang dianggapnya mungkin ketitipan Dawuh, diidatangi dan ditanyainya tapi tidak satupun yang mengaku merasa didawuhi. Dia juga menceritakan permasalahan yang dihadapi bahwa dia harus segera memutuskan, oleh karenanya minta tolong supaya ditanyakan ke Beliau, tapi di antara mereka tak ada yang berani bersedia.

Saat H-minus dua dari hari pelaksanaan, di Ndalem, Beliau RA memanggil salah seorang khodam. Kemudian Dawuh, mengutus dia untuk menelepon kyai tersebut.

“Coba tanyakan, jadinya dia selenggarakan di mana?”

“Ya, Yai”

Tak lama kemudian, dipanggil lagi si khodam dan ditanya.

“Bagaimana?”

“Dia ternyata sudah persiapkan semua, Yai. Mendirikan tenda, panggung dan lain-lainnya di lapangan universitasnya”

“Lho, dia kan saya omongi suruh nunggu keputusan saya?”

“Dia tadi juga memberi penjelasan. Alasannya karena nunggu-nunggu tidak ada Dawuh, ya terpaksa diputusi sendiri?”

“Ya. Itu alasannya. Tapi kenapa keputusan yang dia ambil koq milih yang di universitasnya? Kenapa, dengan posisi tidak ada dawuh dari saya, koq dia tidak mengambil pilihan di pondonya saja, atas dasar meniru dari yang sudah-sudah dahulu?”

“Katanya, karena bingung, dia kemudian mengumpulkan panitya dan pimpinan madrasahnya untuk diajak rapat, Dan keputusannya seperti itu”

Dawuh-Dawuh itu kemudian diputus Beliau sendiri.

“Sudah. Sekarang kamu pulang. Siapkan pakaianmu kira-kira untuk 4-5 hari. Ikut saya pergi ke kota X. Saya perlu waktu khusus untuk saya menulis kitab.”

Riwayat selanjutnya, sudah barang tentu, Beliau RA tidak Rawuh (secara dlohir) di majlis tersebut. Di salah satu kesempatan dalam perjalanan bepergian itu, Beliau RA bercerita tentang beberapa hal, dan kemudian Dawuh :

“Seorang murid, kamu misalnya, pada saat menghadapi suatu urusan, yang mana kamu sudah tahu bahwa itu harus menunggu Dawuh dari saya, Tapi, karena tidak ada Dawuh dari saya, maka kamu diam, pasif, tidak berani memutuskan apa-apa, apalagi melangkah. Sampai-sampai, sebagai akibat dari kamu tidak melangkah itu, kamu jadi salah dan disalahkan oleh orang banyak ;

HAL YANG BEGITU ITU JAUH LEBIH BAIK BAGI SEORANG MURID

jika dibandingkan dengan

Kamu, dengan segala pertimbanganmu sendiri, akhirnya mengambil keputusan, dan akibat dari langkahmu mengambil keputusan itu maka kamu benar dan dibenarkan orang banyak, dan kenyataanya memang sukses (secara dlohiriyyah).”

AllaaHhumma Rodhia-AllaaHhu ‘Anhu Wa ArdhooHhu Wa Nafa’anaa BiHhii Wa Bi ‘UluumiHhi Fid-Daaroiin Aamiiin.

Selasa, 10 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (1)


Dalam salah satu pengajian, saat membahas mengenai bagaimana Allah SWT menunjukkan kedudukan para Wali-Allah, Beliau RA Dawuh dengan mengutip Dawuh dari Al-Imam Ibnu Atho’illah RA :

Sub-haana Man Sataro Sirrol-Khushuushiyyah Bi DluHhuuril-Basyariyyah - Wa DloHharo Bi ‘Adhmatir-Rubuubiyyah Fii Idl-Hhaaril-‘Ubuudiyyah

Mahasuci Allah, Dzat yang merahasiakan akan keistimewaan dan kemulyaan seorang hamba yang dicintai (Wali) -Nya, melalui cara : lebih menampakkan akan sifat-sifat manusiawinya.

Dan Mahasuci Allah, Dzat yang dapat dirasakan akan sifat Agung dan Mulia-Nya hanya oleh makhluk yang benar-benar telah berhasil dalam menghambaan diri kepada-Nya.

Pesan Beliau RA :

Kita tidak akan berhasil untuk bebar-benar merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah jika kita tidak bersungguh-sungguh dalam menghambakan diri kita kepada Allah.

Betapa pun banyak kita melakukan amal ibadah, betapa pun kita menumpuk bekal ilmu kita, betapa pun kita telah berjuang di jalan Allah, namun jika di dalam segala langkah dan sepak terjang kita tersebut tidak didasari, tidak diberangkatkan dari, dan tidak ditujukan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT, maka sebenarnya kita semakin jauh dari harapan akan ma’rifatullah.

AllaHhumma rodlia-Allahu ‘anhu wa ardlooHhu wa nafa’anaa biHhi wa bi ‘uluumioHhi fid-daaroiin Aamiin – Al-Faatihah !!.

Jumat, 23 Juli 2010

DUA "MAHKOTA" MENYATU DALAM DUA FIGUR

DUA “MAHKOTA”
MENYATU DALAM PRIBADI DUA FIGUR



Kita menghormati seseorang, biasanya disebabkan dua hal. Pertama, karena akhlaqnya yang mulia. Kedua, karena kecerdasan dan ilmunya yang luas.

Kita tentu pernah mengalami : berhadapan atau bersama dengan orang yang sangat rendah hati (tawadlu’). Suka mengalah. Ke mana-mana sukanya cuma menebar senyum sambil menundukkan kepala. Tidak banyak mengobral kata atau membual. Kalau dia bicara biasanya yang penting saja, dan seringkali, isinya menyenangkan dan meneduhkan hati lawan bicaranya.

Orang begini hampir tidak pernah melontarkan semacam tuntutan atau permasalahan yang membebani lawan bicaranya. Jika toh dia mengungkap sesuatu yang dianggap kurang baik dan berharap supaya kita berubah menjadi lebih baik, maka yang sering dia lakukan : sambil senyum simpul dia bercerita. Tentang sesuatu yang jauh dari kita, tapi kemudian pikiran kita semacam digiring untuk menemukan sebuah nilai ajaran dari kisah tersebut. Walhasil, pada akhirnya kita akan menyadari kekurangan itu, menertawakan diri kita sendiri, dan kemudian ingin berubah.

Di hadapan orang begini, kita seringkali malah jadi kikuk, “gak bisa omong”. Kenapa? Karena sungkan. Kenapa sungkan? Karena kemuliaan akhlaqnya secara otomatis telah “membunuh” nyali kita.

Kita juga menaruh rasa hormat atau bahkan kagum kepada orang yang berilmu (luas ilmunya) dan cerdas pikirannya. Tapi tentu bukan type yang “sok pinter” atau “berlagak keminter”. Orang berilmu jika bersikap biasanya tenang, kalem, “cool”, tindak-tanduknya terlihat sangat berhati-hati. Nada bicaranya rendah, tapi isi dan cara menentukan kata atau kalimat tuturnya sangat cermat.

Orang seperti itu jarang cepat berkesimpulan tapi malah gemar bertanya atau menanyakan sesuatu. Jika ditanya atau dimintai penjelasan, maka isi uraiannya selalu berdasar pada wacana ilmiah yang teoretis atau dalil yang sahih. Jika mengambil contoh maka diambilnya dari fakta atau data. Terasa menghindari persepsi yang hanya prasangka. Cara menyajikan isi uraian juga runtut, sistematis. Tidak sepotong-sepotong dan tidak meloncat-loncat. Tuntas dan biasanya berakhir dengan kesimpulan yang tegas dan dipertegas dua-tiga kali lagi.

Di hadapan orang begini, jangan lagi mengajak diskusi, untuk bertanya pun kita kuatir keliru. Kita merasa bahwa untuk jadi wadah - sebagai pendengar yang baik saja - rasanya sudah kewalahan. Kenapa? Antara keluasan ilmu yang ditumpahkan dibandingkan dengan wadah hati dan pikiran kita, menjadi tidak seimbang. Ibarat wadah seember dipakai untuk menampung air bah seusai hujan deras.

Dua sosok atau figur di atas, yakni orang yang berakhlaq mulia dan berilmu luas, menyatu dan sangat melekat kental serta terlihat nyata dan jelas pada Hadrotusy-Syeikh Romo KH Ahmad Asori Al Ishaqi RA ketika Beliau masih Sugeng. Dan, sekarang ini, terlihat juga pada Al-Habib Al-Alim Al Allamah As-Sayyid Umar bn Hamid Al-Jiilani RA. Sub-haanallah.

Robbi Fan-fa’naa Bi BarkatiHhimaa
WaHhdinal-Husnaa Bi HurmatiHhimaa
Wa Amitnaa Fii ThoriiqotiHhimaa
Wa Mu’aafatin Minal-Fitani
Aamiiin.

Kamis, 22 Juli 2010

Teks Sambutan Ketua Umum Jamaah Al Khidmah Pada Haul Akbar 2010 Di Ponpes As Salafi Al Fithrah Surabaya, 18 Juli 2010





PIDATO
SAMBUTAN KETUA UMUM JAMAAH AL-KHIDMAH
SELAKU MEWAKILI
PANITYA, KELUARGA BESAR PONPES AS-SALAFI AL-FITHRAH SURABAYA, DAN JAMAAH AL-KHIDMAH

Disampaikan pada
Majlis Dzikir, Maulidurrasul Muhammad SAW dan Haul Akbar
Di Pondok Pesantren As-Salafi Al-Fithrah Surabaya
Minggu, 18 Juli 2010

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


Assalamualaikum Wa Rohmatullahi Wa Barokatuh

Alhamdu LillaaHhi WahdaHh
Wash-Sholaatu Was-Salaamu ‘Ala Sayyidinaa Muhammadin Ibni ‘AbdillaaHh
Wa ‘Alaa AaliHhii Wa ShohbiHhii Wa Man Tabi’a HhudaaHh
Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa BillaaHh
Ammaa Ba’du

Sub-haanaka Laa ‘Ilma Lanaa Illaa Maa ‘Alamtanaa Innaka Antal-‘Aliimul-Hakiim
Robbish-rohlii Shodrii Wa Yassirlii Amrii
Wahlul ‘Uqdatan Min Lisaanii YafqoHhuu Qoulii
Bi Rohmatika Yaa Arhamar-Roohimiin


Awwalan
Perkenankan kami mengajak para jamaah semuanya
Untuk sejenak - merenungkan dan mengenang
Akan sesuatu yang sangat penting
Sesuatu yang menjadi inti dari segenap suasana ruhani,
yang meliputi hati perasaan kita saat ini
Yakni Guru Kita
Hadrotusy-Syeikh Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA


Hadirin Hadirat yang kami muliakan

Telah genap hampir satu tahun
Tepatnya tanggal 27 Sya’ban tahun yang lalu
Secara dlohir, kita semua telah ditinggalkan oleh Guru kita
Asy-Syeikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA.

Tentu, masih kuat dalam ingatan kita
Saat Haul Akbar di tempat ini, setahun yang lalu
Kita semua masih ditunggui oleh Beliau RA

Meskipun dengan kondisi yang sangat sakit
Beliau RA masih memaksakan diri
untuk secara fisik - berada di tengah-tengah kita
“Ngestokno” para Tetamu Agung yang turut hadir dan mendoakan kita semua
Juga untuk membesarkan hati kita, para murid semuanya

Hadirin hadirat, yang kami muliakan

Adanya majlis ini
Adanya kita berkumpul di tempat ini
Juga adanya majlis-majlis serupa di tempat atau daerah daerah yang lain
Semata-mata - adalah buah dari rintisan Beliau RA.
Buah dari ketauladanan
Buah dari tuntunan, yang diiringi senyum kesabaran
selama bertahun-tahun
Buah dari suatu proses Tarbiyyah,
o Tarbiyyah yang mencerdaskan dan melatih kepekaan dan kepedulian kita
terhadap sesama dan terhadap lingkungan
o Tarbiyyah yang menanamkan akan pentingnya kejujuran diri dan kesungguhan
o Tarbiyyah yang melatih kita mempraktekkan keikhlasan :
bahwa diri kita, hidup dan kehidupan kita serta segenap yang melingkupi kita,
semata-mata hanyalah dari - untuk dan ditujukan - ke Haribaan Allah SWT

Kami teringat akan syair pendek yang pernah dianggit
atau disusun Beliau RA

“Adz-Dzikru / Mathlabu / Kulli Khoirin Minal-Anaam
Waj-timaa’uHhuu / A’dhomu Syi’aarin Fil-Islaam”
Bahwa apa pun kebaikan yang dilakukan manusia
Muara dari tujuan pokoknya tiada lain
adalah untuk berdzikir kepada Allah
Dan bentuk berkumpulnya manusia untuk berdzikir, sebagaimana seperti sekarang ini
Ketahuilah, bahwa hakikatnya,
ini merupakan syiar Islam yang paling agung
Hadirin hadirat, yang kami muliakan
Sekarang ini
Beliau sudah menghadap ke Hadirat Allah
Beliau sudah bersama-sama dengan Rosulullah SAW
Bersama-sama para Anbiya’ Wal Mursalin
Bersama-sama para Aulia-Allah para Hamba Allah yang sholeh

Namun demikian
kita sangat yaqin
bahwa saat ini, di majlis ini
Guru kita - Hadrotusy-Syeikh RA
Bersama-sama Beliau- Beliau itu
Bersama-sama para Ash-Haabu Haadzal Haul
Khususnya bersama Kanjeng Syeikh - Sulthonul Aulia Asy-Syeikh Abdul Qodir Al Jiilani RA
Dan terutama juga bersama Habiibunal A’dhom - Rasulullah SAW
hadir di tengah-tengah kita

Semoga tidak ada satu pun dari kita yang hadir
terlewat dari lirikan Hadrotusy-Syeikh RA
Tidak ada satu pun dari kita yang hadir
luput dari berkah serta doa para Ash-Haabi Haadzal Haul
Berkah dari Para Aulia
Khususnya berkah dari Kanjeng Syeikh
serta utamanya Syafaat dari Rasulullah SAW
Amin Allahumma Amin

Hadirin hadirat, yang kami muliakan

Mewakili Panitya dan Jamaah Al Khidmah
Kami menyampaikan terima kasih kepada semuanya saja
yang telah berkhidmah, turut membantu hingga terselenggaranya majlis ini
Kepada para tetamu terutama yang datang dari jauh
Kami sampaikan Ahlan Wa Sahlan Wa Marhaban, Selamat Datang, Sugeng rawuh

Atas kehadiran Jamaah semuanya
Juga atas bantuan amal dari Bapak dan Ibu semuanya
Kami panjatkan doa JazaakumullaaHhu Khoiron Katsiiroo

Panitya juga memohon maaf - memohon ridlonya
apabila terdapat kekurangan kami dalam menghormat para Bapak Ibu sekalian


Hadirin hadirat, yang kami muliakan
Yang terakhir
Perkenankan kami mengajak diri saya sendiri, khususnya
Dan semoga juga bermanfaat bagi Hadirin Hadirat, umumnya

Marilah kita sekarang bertanya ke dalam hati kita masing-masing

“Apakah telah ada, dari amaliyah kita,
yang sekiranya, bisa membahagiakan Guru Kita?”
“Apakah ada, dari tingkah laku - sepak terjang kita,
yang sekiranya sempat membuat Guru Kita tersenyum
meskipun hanya sekali dalam hidup kita… ?”
Jika toh ada, apa dan seberapa
bila dibandingkan dengan kecintaan Beliau terhadap kita?”

Ada baiknya pertanyaan itu kita jawab saja dengan panjatan doa
Semoga Allah memberikan kita istiqoomaHh
IstiqoomaHh
Mudah-mudahan Majlis ini
Juga majlis-majlis yang seperti ini di tempat lain
Juga diberikan istiqomah
Anak-anak keturunan kita
bisa meniru dan meneruskannya

Dengan begitu, harapan kita
Semoga Istiqomah ini nantinya menjadi titik awal
dari niat kita untuk ingin menyenangkan hati Beliau RA

Hadirin hadirat, yang kami muliakan

Selain itu, kami teringat pada suatu Dawuh
Yakni, suatu ketika Beliau RA pernah Dawuh
Bahwa apa pun berita
Yang masuk kepada Guru tentang keadaan para muridnya
Tentang amaliyah yang diperbuat
Apakah ibadah, ataukah amal kebaikan, ataukah perjuangan,
atau apapun yang dikerjakan oleh Fulan dan Si Fulan

Sebenarnyalah,
tidak ada berita yang lebih membahagiakan hati Sang Guru
Yang bisa melebihi
daripada berita yang menceritakan
tentang keadaan akur, guyub, dan bersatunya para murid-muridnya

Begitulah Dawuh Beliau RA

Maka dari itu, Percayalah
bahwa sebenarnya tidak ada kebenaran yang membuahkan perpecahan
Dan tidak ada perpecahan yang menghasilkan Ridlo Guru

Tidak peduli sedalam mana kebenaran itu diyakini
Berapa banyak dalil serta alasan yang dgunakan
Jika yang dikatakan kebenaran itu menjadikan tidak rukun dan tidak utuhnya para murid
Maka itu tidak ada arti dan gunanya

Semoga Allah menjadikan hati kita lapang
Semoga Allah senantiasa menuntun dan membimbing kita
Semoga Allah menjadikan jamaah kita ini
jamaah yang diliputi nilai kasih mengasihi
Sehingga kita guyub, rukun, dan tetap bersatu

AllaaHhummaj-ma’ Syataata Quluubinaa
AllaaHhummaj-ma’ Syataata Quluubinaa
AllaaHhumaj-‘al / Jam’anaa Hhadzaa / Jam’an Malhuudlon Marhuumaa
Wa Tafarruqonaa Ba’daHhuu / Tafarruqon MaHhdiyyan Ma’Shuumaa

Yaa Allah
Yaa Rohmaan - Yaa Rohiim - Yaa Ghoffaar
Yaa Tawwaab - Yaa Sattaar - Yaa Rouuf - Yaa Haliim

Yaa Allah
Ampunilah kami
Ampunilah kedua orang tua kami
Ampunilah para Guru-Guru kami

Warhamnaa WarhamHhum
Wa ‘Aafinaa Wa ‘AafiHhim
Wa’fu ‘Anaa Wa’fu ‘anhum
Wa ShollallaaHhu ‘Alaa Sayyidinaa Muhammadin
Wa ‘Alaa AaliHhi Wa ShohbiHhi Wa Sallam
Wal-Hamdu LillaaHhi Robbil ‘Aaalamiin

Wal-Hamdu LillaaHhi Robbil ‘Aaalamiin

Wassalamualaikum Wa Rohmatullahi Wa Barokatuh