Rabu, 08 September 2010

Lebaran Kita ; Hari Raya Yang Mana?

Melalui pengajian-pengajian yang umum, kita sering mendengar dan mendapatkan pengertian bahwa Hari Raya, atau Lebaran, yakni 1 Syawal itu, dimaknai sebagai hari saat kita Merayakan Kemenangan. Memenangkan apa? Kita telah memenangkan Iman dan akal kita, sekaligus mengalahkan dorongan nafsu dan ajakan setan, setelah terbukti dengan melalui puasa Romadlon sebulan penuh beserta amalan-amalan lain yang menyertainya.

Secara kultur di kampung-kampung, sebagian masyarakat merayakan dan memaknai Lebaran sebagai yang serba baru. Ada yang mentarget renovasi rumah harus selesai sebelum lebaran hingga bisa dinikmati saat para tetamu berkunjung. Sebagian lagi tergoda dengan terima THR hingga pingin bersegera mengajak keluargannya ke mall, memborong pakaian supaya baru saat lebaran. (Tidak ada salahnya juga karena hal ini sudah menjadi budaya, dan mungkin masih bisa diambil positifnya dari sisi syiar Islam).

Namun, saya teringat akan salah satu isi pengajian Beliau RA (saat Beliau RA masih sehat, suatu sore hari di bulan Romadlon, kalau tidak keliru tahun 1999). Beliau RA menerangkan dengan kalimat tanya : ‘Iied atau Hari Raya itu hakikatnya bagimana sih? Tentu, ini dari sisi pandang akhlaq dan keimanan. Maka Beliau mengutip Dawuh dari shohabat Anas bn Malik RA. Uraian Beliau RA (secara pengertian dan kurang-lebihnya) seperti berikut ini.

Seseorang mukmin, dikatakan baru pantas merayakan kemenangannya atau “berhari raya” apabila :

Pertama ; Dalam sehari-harinya, seluruh waktunya selama 24 jam, setelah didaftar semua perilaku, gerak hati atau apa pun yang menyangkut dirinya, dipastikan bahwa dia bersih dan samasekali tidak terdapat dosa atau hal yang mengarah ke kemaksiatan menurut Allah SWT.

Kedua ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah wafat, dipanggil menghadap ke Hadirat Allah SWT, dengan dua kalimat syahadat, membawa iman, selamat dari godaan setan, dan karenanya husnul-khotimah.

Ketiga ; Sudah terbukti berhasil melewati Shiroothol-Mustaqiem dan terhindar dari siksaan Malaikat Zabaniyyah.

Keempat ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam sorga oleh Allah SWT dan terbebas dari siksa api neraka.

Kelima ; Sudah terbukti dikaruniai oleh Allah dapat melihat Dzat-Nya Yang Al-‘Adhiem, Al-Kariem, Yang Maha Sempurna.

Kemudian, dengan nada setengah menggoda, Beliau RA melontar pertanyaan ke kita, para jamaah, : “Sampun. Monggo. Riyoyo Sampean kabeh saiki iki, riyoyo sing endi?” ( = Nah, kini kita sudah paham. Sekarang saya nanya, Hari Raya Kalian yang sekarang ini, kategori Hari Raya yang mana?).

Jumat, 03 September 2010

Sajak D. Zawawi Imron : IBU

Sajak : D. Zawawi Imron

IBU

Ibu,

Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Ibu,

Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu

Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku