Sabtu, 05 Februari 2011

MENGGUGAT ATAU MENSYUKURI? Kita Sendiri Yang Menentukan


MENGGUGAT ATAU MENSYUKURI?

Kita Sendiri Yang Menentukan

Dalam menjalani hidup ini, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Bagaimana cara dan seberapa kadar kita merespon atas sesuatu yang menimpa kita, misalnya, terkembali kepada kita sepenuhnya. Ibaratkan seperti cerita berikut ini. Suatu saat, kita pulang dari bepergian, naik pesawat, dan kopor yang dibagasikan, ternyata ketinggalan. Bagaimana dan seperti apa kita mereaksinya?

Semakin banyak jumlah dan ragam barang isi kopor tersebut maka semakin beraneka kekhawatiran berkecamuk di pikiran kita. Semakin berharga atau bernilai tinggi isi kopor maka semakin besar dan berat rasa ketakutan kita. Umpama saja, isi kopor tersebut emas batangan, maka bisa-bisa kita menuntut pihak penerbangan hingga ke pengadilan. Beda lagi halnya jika kopor hanya berisi pakaian, lebih-lebih cuma pakaian kotor. Jadi, kadar reaksi kita sangat dipengaruhi oleh kadar kepentingan kita terhadap isi kopor tersebut.

Bisa juga terjadi, isi kopor sebenarnya cuma pakaian kotor. Akan tetapi kita mereaksinya dengan sangat marah kepada pengelola penerbangan. Kita bisa menjadi seperti pengkhotbah di hadapan pihak penerbangan tentang budaya pelayanan dan kerja profesional sebuah perusahaan moderen. Kita punya kesempatan untuk memnyalahkan dan membodoh-bodohkan mereka dengan cara mendera pertanyaan : bagaimana perusahaan Anda koq bisa melakukan kecerobohan seperti itu? Sekali lagi, itu semua, adalah pilihan bagi kita.

Namun demikian, selain memilih yang di atas, bisa juga kita berpikir lebih jernih. Mula-mula kita berusaha menemukan dan menangkap tujuan pokok dari perjalanan pulang dengan pesawat tersebut. Oh, ternyata yang paling utama adalah bahwa kita bisa sampai dengan selamat dan kembali berkumpul bersama keluarga. Lagipula, kopor yang tertinggal itu, masalahnya, hanya kedatangan yang tertunda, bukan kehilangan. Jika dipikir-pikir lagi, meskipun penerbangan kita hanya menggunakan pesawat kecil dengan baling-baling, tapi karena kondisi cuaca waktu itu sangat cerah sehingga pesawat bisa terbang dengan tenang. Kita yakin, keselamatan penerbangan bukan hanya karena besar-kecilnya pesawat tapi lebih ditentukan oleh keadaan alam. Pesawat besarpun akan terjungkal jika cuaca tidak bersahabat. Terlebih lagi, penerbangan tersebut ternyata satu-satunya di hari itu. Tidak ada lagi karena memang jadwalnya sekali dalam sehari. Sebenarnya bisa saja karena alasan teknis sehingga penerbangan menjadi tertunda esok harinya.

Sub-hanallaah .... !! Seumpama kita terlanjur telah memilih salah satu dari contoh reaksi yang disebutkan di awal, maka artinya kita telah membiarkan pikiran dan nafsu untuk merampas rasa bersyukur yang sudah semestinya kita lakukan. Itu semua terjadi di dalam diri kita sendiri. Tidak ada yang mendikte. Kita sendirilah yang menentukan.

Rabu, 22 Desember 2010

ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH

Seorang Guru Mursyid, dalam peran dan kiprahnya bagi ummat atau masyarakat, salah satunya adalah bahwa kehadirannya menjadi “jawaban” bagi setiap dan segenap pertanyaan permasalahan hidup “kekinian” pada zamannya. Bukan pada zaman sebelumnya ataupun pada zaman setelahnya. Rupanya, melalui Guru Mursyid inilah cara Allah SWT memberi karunia hidayah kepada siapa pun hamba-Nya, yang dikehendaki untuk menjadi orang baik dan selamat dunia akhirat.

Sebaik dan sesempurna bagaimanapun kebijakan seorang Guru Mursyid yang hidup pada zaman tertentu, belum tentu cocok untuk secara “mentah-mentah” diterapkan pada zaman setelahnya. Semangat, makna, nilai atau hikmah di sebalik kebijakan tersebutlah yang bisa dipetik, namun metode beserta tatacara lainnya tidaklah “applicable”. Karena hal beginilah maka kebijakan Guru Mursyid Penerus atau Pengganti, tidak mungkin sekedar “copy paste” dari Guru Mursyid sebelumnya. Guru Mursyid Penerus atau Pengganti niscaya punya “benang merah roso” yang tersendiri. Hal ini karena zaman sudah beda, ummat yang dihadapi juga beda, tantangan persoalan yang mesti dipecahkan juga beda, cara atau siasat dalam memecahkannya serta pendekatannya juga beda.

Salah satu contoh, Romo Kyai Sepuh, yakni As-Syeikh Muhammad ‘Oestman Al Ishaqi RA, pada masa ke-Mursyid-annya, sempat menyusun beberapa buah kitab yang isinya menjelaskan dan menuntun muridiin bagaimana kewajiban dan tatakrama Al Akhlaqul Karimah murid kepada Guru Mursyidnya. Salah satu kitab dimaksud ialah “Khulashoh Al Wafiyah”. Kitab tersebut kemudian dijadikan wadlifah istiqomah oleh para Imam Khususi untuk dibaca di depan para jamaah muridin saat setiap menjelang Dzikir Khususiyah.

Pada era (zaman) yang beda, Guru Mursyid Penerus, yakni Syaikhuna Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA sempat Dawuh. Dawuh Beliau lebih-kurang isinya sebagai berikut : Saya paling takut jika harus membicarakan atau menjelaskan tentang apa-apa yang menyangkut kewajiban serta tatakrama atau adab murid terhadap Guru. Kenapa demikian? Karena dalam hal ini saya berada pada posisi yang “mendapat bagian”. Bagaimana saya bisa atau mampu menjaga diri atau mengendalikan nafsu saya untuk tidak terjebak pada sifat basyariyah saya?

Selanjutnya Beliau RA menjelaskan : Modal utama bagi pribadi seorang murid di dalam bertarekat itu lebih terletak pada kejujuran diri dan kesungguhan. Jika seorang murid mampu untuk jujur dan bersungguh-sungguh, maka untuk menunaikan kewajiban serta memegang tatakrama atau adab, baik terhadap Guru maupun terhadap lain-lainnya itu akan menjadi hal yang bersifat otomatis. Ketaqwaan kepada Allah, perasaan “takut” kepada Guru Mursyidnya, perasaan “gundah gelisah” di saat di hadapan Gurunya, tatakrama dan seterusnya, itu akan muncul sebagai ekspresi dari dalam nurani diri sendiri. Tatakrama yang ternampakkan secara dhohir tersebut justru hanya sebagai salah satu dari “ciri penanda” atau sekaligus sebagai “alat pembeda” antara mana murid yang jujur diri dan bersungguh-sungguh dan mana murid yang tidak. Oleh karena itu maka rasanya tidaklah terlalu pas jika tatakrama atau adab murid dikemas menjadi kewajiban yang secara dogmatis diberlakukan atau diikatkan oleh Guru kepada murid-muridnya.

Karena itu pula, barangkali, di saat dimaturi untuk cetak ulang kitab “Khulashoh Al Wafiyah” tersebut, Beliau RA mengurungkan. Selanjutnya Beliau RA justru memasukkannya menjadi bagian dari juz-juz terakhir dalam kitab yang disusunnya. Al Muntakhobat, yang lima juz itu. Sebuah kitab dengan khazanah pembahasan ilmiyah yang lengkap dan tuntas, namun sekaligus tuntunan praktis bagi para pribadi yang bersungguh-sungguh ingin mencari dan meniti jalan kebenaran yang hakiki.

Demikianlah contohnya. Contoh untuk menegaskan pesan bahwa untuk zaman yang beda - oleh Guru yang beda - maka kebijakan “roso” dan metode juga pasti beda. Tentu, contoh di atas tidaklah dimaksudkan untuk disalahpahami sebagai “membandingkan” antara yang satu dengan lainnya. Kita telah sama-sama memahami dan menyadari bahwa perilaku “membandingkan” dan/atau “menyamakan/menganggap sama” Guru yang satu dengan lainnya merupakan perilaku haram.

Karenanya, totalisme dalam ber-Guru menjadi penting terutama bagi pribadi murid yang sempat mengalami hidup dan menjalani tarekat dalam 2 masa sehingga berguru kepada 2 orang Guru Mursyid. Sangatlah naïf apabila di antara mereka, misalnya, kemudian mengatakan : Dulu, biasanya Kyai A itu seperti ini, makanya kita mestinya begini. Lha sekarang Kyai B malah berubah seperti itu. Mestinya kita kan tidak begitu. Dan seterusnya.

(Semua yang benar dari Syaikhunal-Karim Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi – Rodlia-Allaahu Anhu Wa Ardloohu Wa Nafa’anaa Bi Hii Wa Bi Uluumihii Fid-Daaroiin Aamiiin – dan yang salah dari pribadi)

Selasa, 05 Oktober 2010

SEMOGA BERMANFAAT

Teman-teman Sedulur Se-“Cawan Teguk Air-Minum” (Fil-Masyrob),

Saya sempat melihat di Beranda fb saya, ada teman yang menautkan statusnya dengan status orang lain. Setelah saya baca, status orang lain dimaksud, berisi uraian atau penjelasan tentang Makrifat, Istiqomah, beserta fadlilah-fadlilahnya dan seterusnya. Jujur, saya mengenal orang dimaksud, dan saya yakin beliau ybs juga mengenal saya. Setahu saya, beliau ini juga murid tarekat. Namun rupanya akhir-akhir ini jarang kelihatan atau sudah agak lama tidak aktif dalam kegiatan di pertemanan Al Khidmah. Saya juga mencoba masuk dan membaca status-statusnya yang lain. Hampir seluruhnya, memang berisi wacana uraian atau penjelasan dalam tataran “berangkat” atau “meniti perjalanan” atau “suluk” ilaa Hadroti-Allahi Sub-haanah. Memperhatikan koment-koment teman-temannya, banyak juga yang sempat kagum terhadap beliau atau isi statusnya.

Melalui tulisan ini, saya sekadar ingin mengingatkan diri saya sendiri, dengan berbekal sedikit apa yang mampu saya serap dan resapkan dari Syaikunal-Kaamil Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA, wa Bi BarkatiHhi wa KaromaatiHhi wa ‘UluumiHhi wa AsrooriHhi, semoga juga ada manfaatnya bagi yang lain. Amin.

Kita, memang diharuskan menjalankan / mengikuti / meniru semua apa yang telah diteladankan / diajarkan / ditata / dididikkan oleh Guru kita RA. Akan tetapi, mohon dan semoga tidak keliru, kita TIDAK DIANJURKAN untuk berbuat / bersikap / bergaya / berposisi MENYERUPAI seperti Guru kita RA ; terutama dalam hal bagaimana Guru kita RA, selaku Sang Penuntun, mendidik atau mentarbiyah kita para murid-muridnya. Karena otorisasi tarbiyyah itu hanya di Murobbi Guru. Jika seorang murid melakukan perbuatan “menyerupai” Gurunya (“talbis”) maka dikhawatirkan, wa na’uudzu billaaHh, dirinya akan jatuh dalam jurang syirik keguruan. Demikian pula sebaliknya, kita selaku murid, TIDAK DIANJURKAN untuk menerima didikan atau menyerap tarbiyyah dari orang atau sumber lain, selain Guru kita RA.

Untuk keperluan dan atas niat tular-tular kebaikan, tadzkiroh atau lain sejenisnya, kepada sesama teman murid, kita bisa menyampaikannya dengan mendahulukan mencantumkan sumber dari mana atau dari siapa kita peroleh. Misalnya : “Dulu Yai pernah Dawuh seperti ini…,” atau “Saya ingat dulu Yai pernah menegur saya dengan Dawuh begini …” dan begitu seterusnya. Begitulah kita diajari dan dididik. Tentu dan pasti bukan untuk kepentingan diri keunggulan nama Sang Guru, tapi supaya dalam diri kita tertanam Akhlaq Al Karimah.

Kenapa demikian? Karena kita meyakini bahwa hidayah beserta semua nilai manfaat, dun-yan wa ukhron, sebagai karunia pemberian Allah SWT itu, hanya bisa tersalurkan jika melalui Akhlaq Al Karimah, sebagaimana halnya dengan kandungan Al Qur’an Al Karim yang hanya melalui Rasulullah SAW. Jadi kalau mau dibalik dalam kalimat Tanya : Bagaimana mungkin seseorang bakal memperoleh Hidayah dari Allah SWT, sementara ilmu yang diserap bersumber dari atau melalui orang yang tidak berakhlaq?

Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita, melalui tuntunan guru kita RA. Juga, semoga tulisan ini mengarah dan diarahkan untuk kebaikan semuanya. Bukan justru untuk beradu argument atau merasa disalahkan atau ingin menyalahkan orang lain.

Rabu, 08 September 2010

Lebaran Kita ; Hari Raya Yang Mana?

Melalui pengajian-pengajian yang umum, kita sering mendengar dan mendapatkan pengertian bahwa Hari Raya, atau Lebaran, yakni 1 Syawal itu, dimaknai sebagai hari saat kita Merayakan Kemenangan. Memenangkan apa? Kita telah memenangkan Iman dan akal kita, sekaligus mengalahkan dorongan nafsu dan ajakan setan, setelah terbukti dengan melalui puasa Romadlon sebulan penuh beserta amalan-amalan lain yang menyertainya.

Secara kultur di kampung-kampung, sebagian masyarakat merayakan dan memaknai Lebaran sebagai yang serba baru. Ada yang mentarget renovasi rumah harus selesai sebelum lebaran hingga bisa dinikmati saat para tetamu berkunjung. Sebagian lagi tergoda dengan terima THR hingga pingin bersegera mengajak keluargannya ke mall, memborong pakaian supaya baru saat lebaran. (Tidak ada salahnya juga karena hal ini sudah menjadi budaya, dan mungkin masih bisa diambil positifnya dari sisi syiar Islam).

Namun, saya teringat akan salah satu isi pengajian Beliau RA (saat Beliau RA masih sehat, suatu sore hari di bulan Romadlon, kalau tidak keliru tahun 1999). Beliau RA menerangkan dengan kalimat tanya : ‘Iied atau Hari Raya itu hakikatnya bagimana sih? Tentu, ini dari sisi pandang akhlaq dan keimanan. Maka Beliau mengutip Dawuh dari shohabat Anas bn Malik RA. Uraian Beliau RA (secara pengertian dan kurang-lebihnya) seperti berikut ini.

Seseorang mukmin, dikatakan baru pantas merayakan kemenangannya atau “berhari raya” apabila :

Pertama ; Dalam sehari-harinya, seluruh waktunya selama 24 jam, setelah didaftar semua perilaku, gerak hati atau apa pun yang menyangkut dirinya, dipastikan bahwa dia bersih dan samasekali tidak terdapat dosa atau hal yang mengarah ke kemaksiatan menurut Allah SWT.

Kedua ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah wafat, dipanggil menghadap ke Hadirat Allah SWT, dengan dua kalimat syahadat, membawa iman, selamat dari godaan setan, dan karenanya husnul-khotimah.

Ketiga ; Sudah terbukti berhasil melewati Shiroothol-Mustaqiem dan terhindar dari siksaan Malaikat Zabaniyyah.

Keempat ; Sudah terbukti bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam sorga oleh Allah SWT dan terbebas dari siksa api neraka.

Kelima ; Sudah terbukti dikaruniai oleh Allah dapat melihat Dzat-Nya Yang Al-‘Adhiem, Al-Kariem, Yang Maha Sempurna.

Kemudian, dengan nada setengah menggoda, Beliau RA melontar pertanyaan ke kita, para jamaah, : “Sampun. Monggo. Riyoyo Sampean kabeh saiki iki, riyoyo sing endi?” ( = Nah, kini kita sudah paham. Sekarang saya nanya, Hari Raya Kalian yang sekarang ini, kategori Hari Raya yang mana?).

Jumat, 03 September 2010

Sajak D. Zawawi Imron : IBU

Sajak : D. Zawawi Imron

IBU

Ibu,

Jika aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Ibu,

Jika aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Maka namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibuku dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu

Bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku

Sabtu, 14 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (2)

Alkisah, ada seorang murid yang - boleh dikata - terhitung senior. Dia alim dan telah sukses merintis, mengasuh dan membesarkan pesantrennya. Dalam hitungan angka, santri yang mondok di tempatnya serta para alumni lulusannya sudah mencapai ribuan. Sukses berikutnya, dia mendirikan sebuah Perguruan Tinggi Agama. Dibangunnya gedung dua lantai, membentuk huruf U mengelilingi area lapangan yang luas. Dibangun di atas tanah yang luas. Posisinya berjarak lebih kurang 500m dari Ndalem dan pondoknya.

Sekitar sebulan menjelang acara hajatan tahunan di tempatnya, yakni majlis haul, dia sowan untuk matur kepada Gurunya, Beliau RA. Dua butir penting yang dia maturkan dan pingin mendapat restu dari Beliau RA. Yakni pertama, lokasi majlis haul ingin dipindah dari yang biasa tiap tahun di pondoknya, beralih ke lapangan di depan Perguruan Tinggi yang baru dibangunnya itu. Alasannya masuk akal : area lokasi lebih luas sehingga jamaah yang hadir bisa utuh, tidak terpencar. Kedua, dia minta ijin untuk diperbolehkan mengundang seorang penceramah yang, di masa itu, notabene sangat popular dan berskala nasional.

Meskipun tidak diucapkan namun sudah barang tentu bisa kita tebak. Bahwa, rupanya, ada harapan dengan bekumpulnya umat di situ, lebih-lebih rawuhnya Beliau RA di tempat itu, syiar dan imej Perguruan Tingginya di mata masayarakat secara otomatis akan terangkat. Tanpa harus mengeluarkan dana lagi untuk promosi. Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui. Maksudnya mungkin seperti itu

Tapi apa yang kemudian menjadi respon jawaban Beliau RA setelah dimaturinya itu? Dengan suara rendah sambil tersenyum, Beliau RA Dawuh “Yo Wis … tak pikire disek. Engkok yaopo, entenono…. Yoo ..!? ” (Ya sudah. Akan saya pikirkan terlebih dahulu. Bagaimana nanti keputusan saya, mohon kamu tunggu aja, yaa?).

Akan tetapi selama berhari-hari, bahkan berganti minggu, dia tunggu Dawuh Beliau RA tidak kunjung turun. Orang-orang yang dianggapnya mungkin ketitipan Dawuh, diidatangi dan ditanyainya tapi tidak satupun yang mengaku merasa didawuhi. Dia juga menceritakan permasalahan yang dihadapi bahwa dia harus segera memutuskan, oleh karenanya minta tolong supaya ditanyakan ke Beliau, tapi di antara mereka tak ada yang berani bersedia.

Saat H-minus dua dari hari pelaksanaan, di Ndalem, Beliau RA memanggil salah seorang khodam. Kemudian Dawuh, mengutus dia untuk menelepon kyai tersebut.

“Coba tanyakan, jadinya dia selenggarakan di mana?”

“Ya, Yai”

Tak lama kemudian, dipanggil lagi si khodam dan ditanya.

“Bagaimana?”

“Dia ternyata sudah persiapkan semua, Yai. Mendirikan tenda, panggung dan lain-lainnya di lapangan universitasnya”

“Lho, dia kan saya omongi suruh nunggu keputusan saya?”

“Dia tadi juga memberi penjelasan. Alasannya karena nunggu-nunggu tidak ada Dawuh, ya terpaksa diputusi sendiri?”

“Ya. Itu alasannya. Tapi kenapa keputusan yang dia ambil koq milih yang di universitasnya? Kenapa, dengan posisi tidak ada dawuh dari saya, koq dia tidak mengambil pilihan di pondonya saja, atas dasar meniru dari yang sudah-sudah dahulu?”

“Katanya, karena bingung, dia kemudian mengumpulkan panitya dan pimpinan madrasahnya untuk diajak rapat, Dan keputusannya seperti itu”

Dawuh-Dawuh itu kemudian diputus Beliau sendiri.

“Sudah. Sekarang kamu pulang. Siapkan pakaianmu kira-kira untuk 4-5 hari. Ikut saya pergi ke kota X. Saya perlu waktu khusus untuk saya menulis kitab.”

Riwayat selanjutnya, sudah barang tentu, Beliau RA tidak Rawuh (secara dlohir) di majlis tersebut. Di salah satu kesempatan dalam perjalanan bepergian itu, Beliau RA bercerita tentang beberapa hal, dan kemudian Dawuh :

“Seorang murid, kamu misalnya, pada saat menghadapi suatu urusan, yang mana kamu sudah tahu bahwa itu harus menunggu Dawuh dari saya, Tapi, karena tidak ada Dawuh dari saya, maka kamu diam, pasif, tidak berani memutuskan apa-apa, apalagi melangkah. Sampai-sampai, sebagai akibat dari kamu tidak melangkah itu, kamu jadi salah dan disalahkan oleh orang banyak ;

HAL YANG BEGITU ITU JAUH LEBIH BAIK BAGI SEORANG MURID

jika dibandingkan dengan

Kamu, dengan segala pertimbanganmu sendiri, akhirnya mengambil keputusan, dan akibat dari langkahmu mengambil keputusan itu maka kamu benar dan dibenarkan orang banyak, dan kenyataanya memang sukses (secara dlohiriyyah).”

AllaaHhumma Rodhia-AllaaHhu ‘Anhu Wa ArdhooHhu Wa Nafa’anaa BiHhii Wa Bi ‘UluumiHhi Fid-Daaroiin Aamiiin.

Selasa, 10 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (1)


Dalam salah satu pengajian, saat membahas mengenai bagaimana Allah SWT menunjukkan kedudukan para Wali-Allah, Beliau RA Dawuh dengan mengutip Dawuh dari Al-Imam Ibnu Atho’illah RA :

Sub-haana Man Sataro Sirrol-Khushuushiyyah Bi DluHhuuril-Basyariyyah - Wa DloHharo Bi ‘Adhmatir-Rubuubiyyah Fii Idl-Hhaaril-‘Ubuudiyyah

Mahasuci Allah, Dzat yang merahasiakan akan keistimewaan dan kemulyaan seorang hamba yang dicintai (Wali) -Nya, melalui cara : lebih menampakkan akan sifat-sifat manusiawinya.

Dan Mahasuci Allah, Dzat yang dapat dirasakan akan sifat Agung dan Mulia-Nya hanya oleh makhluk yang benar-benar telah berhasil dalam menghambaan diri kepada-Nya.

Pesan Beliau RA :

Kita tidak akan berhasil untuk bebar-benar merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah jika kita tidak bersungguh-sungguh dalam menghambakan diri kita kepada Allah.

Betapa pun banyak kita melakukan amal ibadah, betapa pun kita menumpuk bekal ilmu kita, betapa pun kita telah berjuang di jalan Allah, namun jika di dalam segala langkah dan sepak terjang kita tersebut tidak didasari, tidak diberangkatkan dari, dan tidak ditujukan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT, maka sebenarnya kita semakin jauh dari harapan akan ma’rifatullah.

AllaHhumma rodlia-Allahu ‘anhu wa ardlooHhu wa nafa’anaa biHhi wa bi ‘uluumioHhi fid-daaroiin Aamiin – Al-Faatihah !!.