Sabtu, 14 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (2)

Alkisah, ada seorang murid yang - boleh dikata - terhitung senior. Dia alim dan telah sukses merintis, mengasuh dan membesarkan pesantrennya. Dalam hitungan angka, santri yang mondok di tempatnya serta para alumni lulusannya sudah mencapai ribuan. Sukses berikutnya, dia mendirikan sebuah Perguruan Tinggi Agama. Dibangunnya gedung dua lantai, membentuk huruf U mengelilingi area lapangan yang luas. Dibangun di atas tanah yang luas. Posisinya berjarak lebih kurang 500m dari Ndalem dan pondoknya.

Sekitar sebulan menjelang acara hajatan tahunan di tempatnya, yakni majlis haul, dia sowan untuk matur kepada Gurunya, Beliau RA. Dua butir penting yang dia maturkan dan pingin mendapat restu dari Beliau RA. Yakni pertama, lokasi majlis haul ingin dipindah dari yang biasa tiap tahun di pondoknya, beralih ke lapangan di depan Perguruan Tinggi yang baru dibangunnya itu. Alasannya masuk akal : area lokasi lebih luas sehingga jamaah yang hadir bisa utuh, tidak terpencar. Kedua, dia minta ijin untuk diperbolehkan mengundang seorang penceramah yang, di masa itu, notabene sangat popular dan berskala nasional.

Meskipun tidak diucapkan namun sudah barang tentu bisa kita tebak. Bahwa, rupanya, ada harapan dengan bekumpulnya umat di situ, lebih-lebih rawuhnya Beliau RA di tempat itu, syiar dan imej Perguruan Tingginya di mata masayarakat secara otomatis akan terangkat. Tanpa harus mengeluarkan dana lagi untuk promosi. Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui. Maksudnya mungkin seperti itu

Tapi apa yang kemudian menjadi respon jawaban Beliau RA setelah dimaturinya itu? Dengan suara rendah sambil tersenyum, Beliau RA Dawuh “Yo Wis … tak pikire disek. Engkok yaopo, entenono…. Yoo ..!? ” (Ya sudah. Akan saya pikirkan terlebih dahulu. Bagaimana nanti keputusan saya, mohon kamu tunggu aja, yaa?).

Akan tetapi selama berhari-hari, bahkan berganti minggu, dia tunggu Dawuh Beliau RA tidak kunjung turun. Orang-orang yang dianggapnya mungkin ketitipan Dawuh, diidatangi dan ditanyainya tapi tidak satupun yang mengaku merasa didawuhi. Dia juga menceritakan permasalahan yang dihadapi bahwa dia harus segera memutuskan, oleh karenanya minta tolong supaya ditanyakan ke Beliau, tapi di antara mereka tak ada yang berani bersedia.

Saat H-minus dua dari hari pelaksanaan, di Ndalem, Beliau RA memanggil salah seorang khodam. Kemudian Dawuh, mengutus dia untuk menelepon kyai tersebut.

“Coba tanyakan, jadinya dia selenggarakan di mana?”

“Ya, Yai”

Tak lama kemudian, dipanggil lagi si khodam dan ditanya.

“Bagaimana?”

“Dia ternyata sudah persiapkan semua, Yai. Mendirikan tenda, panggung dan lain-lainnya di lapangan universitasnya”

“Lho, dia kan saya omongi suruh nunggu keputusan saya?”

“Dia tadi juga memberi penjelasan. Alasannya karena nunggu-nunggu tidak ada Dawuh, ya terpaksa diputusi sendiri?”

“Ya. Itu alasannya. Tapi kenapa keputusan yang dia ambil koq milih yang di universitasnya? Kenapa, dengan posisi tidak ada dawuh dari saya, koq dia tidak mengambil pilihan di pondonya saja, atas dasar meniru dari yang sudah-sudah dahulu?”

“Katanya, karena bingung, dia kemudian mengumpulkan panitya dan pimpinan madrasahnya untuk diajak rapat, Dan keputusannya seperti itu”

Dawuh-Dawuh itu kemudian diputus Beliau sendiri.

“Sudah. Sekarang kamu pulang. Siapkan pakaianmu kira-kira untuk 4-5 hari. Ikut saya pergi ke kota X. Saya perlu waktu khusus untuk saya menulis kitab.”

Riwayat selanjutnya, sudah barang tentu, Beliau RA tidak Rawuh (secara dlohir) di majlis tersebut. Di salah satu kesempatan dalam perjalanan bepergian itu, Beliau RA bercerita tentang beberapa hal, dan kemudian Dawuh :

“Seorang murid, kamu misalnya, pada saat menghadapi suatu urusan, yang mana kamu sudah tahu bahwa itu harus menunggu Dawuh dari saya, Tapi, karena tidak ada Dawuh dari saya, maka kamu diam, pasif, tidak berani memutuskan apa-apa, apalagi melangkah. Sampai-sampai, sebagai akibat dari kamu tidak melangkah itu, kamu jadi salah dan disalahkan oleh orang banyak ;

HAL YANG BEGITU ITU JAUH LEBIH BAIK BAGI SEORANG MURID

jika dibandingkan dengan

Kamu, dengan segala pertimbanganmu sendiri, akhirnya mengambil keputusan, dan akibat dari langkahmu mengambil keputusan itu maka kamu benar dan dibenarkan orang banyak, dan kenyataanya memang sukses (secara dlohiriyyah).”

AllaaHhumma Rodhia-AllaaHhu ‘Anhu Wa ArdhooHhu Wa Nafa’anaa BiHhii Wa Bi ‘UluumiHhi Fid-Daaroiin Aamiiin.

Selasa, 10 Agustus 2010

Romadlon Rindu Beliau RA (1)


Dalam salah satu pengajian, saat membahas mengenai bagaimana Allah SWT menunjukkan kedudukan para Wali-Allah, Beliau RA Dawuh dengan mengutip Dawuh dari Al-Imam Ibnu Atho’illah RA :

Sub-haana Man Sataro Sirrol-Khushuushiyyah Bi DluHhuuril-Basyariyyah - Wa DloHharo Bi ‘Adhmatir-Rubuubiyyah Fii Idl-Hhaaril-‘Ubuudiyyah

Mahasuci Allah, Dzat yang merahasiakan akan keistimewaan dan kemulyaan seorang hamba yang dicintai (Wali) -Nya, melalui cara : lebih menampakkan akan sifat-sifat manusiawinya.

Dan Mahasuci Allah, Dzat yang dapat dirasakan akan sifat Agung dan Mulia-Nya hanya oleh makhluk yang benar-benar telah berhasil dalam menghambaan diri kepada-Nya.

Pesan Beliau RA :

Kita tidak akan berhasil untuk bebar-benar merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah jika kita tidak bersungguh-sungguh dalam menghambakan diri kita kepada Allah.

Betapa pun banyak kita melakukan amal ibadah, betapa pun kita menumpuk bekal ilmu kita, betapa pun kita telah berjuang di jalan Allah, namun jika di dalam segala langkah dan sepak terjang kita tersebut tidak didasari, tidak diberangkatkan dari, dan tidak ditujukan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT, maka sebenarnya kita semakin jauh dari harapan akan ma’rifatullah.

AllaHhumma rodlia-Allahu ‘anhu wa ardlooHhu wa nafa’anaa biHhi wa bi ‘uluumioHhi fid-daaroiin Aamiin – Al-Faatihah !!.