Jumat, 23 Juli 2010

DUA "MAHKOTA" MENYATU DALAM DUA FIGUR

DUA “MAHKOTA”
MENYATU DALAM PRIBADI DUA FIGUR



Kita menghormati seseorang, biasanya disebabkan dua hal. Pertama, karena akhlaqnya yang mulia. Kedua, karena kecerdasan dan ilmunya yang luas.

Kita tentu pernah mengalami : berhadapan atau bersama dengan orang yang sangat rendah hati (tawadlu’). Suka mengalah. Ke mana-mana sukanya cuma menebar senyum sambil menundukkan kepala. Tidak banyak mengobral kata atau membual. Kalau dia bicara biasanya yang penting saja, dan seringkali, isinya menyenangkan dan meneduhkan hati lawan bicaranya.

Orang begini hampir tidak pernah melontarkan semacam tuntutan atau permasalahan yang membebani lawan bicaranya. Jika toh dia mengungkap sesuatu yang dianggap kurang baik dan berharap supaya kita berubah menjadi lebih baik, maka yang sering dia lakukan : sambil senyum simpul dia bercerita. Tentang sesuatu yang jauh dari kita, tapi kemudian pikiran kita semacam digiring untuk menemukan sebuah nilai ajaran dari kisah tersebut. Walhasil, pada akhirnya kita akan menyadari kekurangan itu, menertawakan diri kita sendiri, dan kemudian ingin berubah.

Di hadapan orang begini, kita seringkali malah jadi kikuk, “gak bisa omong”. Kenapa? Karena sungkan. Kenapa sungkan? Karena kemuliaan akhlaqnya secara otomatis telah “membunuh” nyali kita.

Kita juga menaruh rasa hormat atau bahkan kagum kepada orang yang berilmu (luas ilmunya) dan cerdas pikirannya. Tapi tentu bukan type yang “sok pinter” atau “berlagak keminter”. Orang berilmu jika bersikap biasanya tenang, kalem, “cool”, tindak-tanduknya terlihat sangat berhati-hati. Nada bicaranya rendah, tapi isi dan cara menentukan kata atau kalimat tuturnya sangat cermat.

Orang seperti itu jarang cepat berkesimpulan tapi malah gemar bertanya atau menanyakan sesuatu. Jika ditanya atau dimintai penjelasan, maka isi uraiannya selalu berdasar pada wacana ilmiah yang teoretis atau dalil yang sahih. Jika mengambil contoh maka diambilnya dari fakta atau data. Terasa menghindari persepsi yang hanya prasangka. Cara menyajikan isi uraian juga runtut, sistematis. Tidak sepotong-sepotong dan tidak meloncat-loncat. Tuntas dan biasanya berakhir dengan kesimpulan yang tegas dan dipertegas dua-tiga kali lagi.

Di hadapan orang begini, jangan lagi mengajak diskusi, untuk bertanya pun kita kuatir keliru. Kita merasa bahwa untuk jadi wadah - sebagai pendengar yang baik saja - rasanya sudah kewalahan. Kenapa? Antara keluasan ilmu yang ditumpahkan dibandingkan dengan wadah hati dan pikiran kita, menjadi tidak seimbang. Ibarat wadah seember dipakai untuk menampung air bah seusai hujan deras.

Dua sosok atau figur di atas, yakni orang yang berakhlaq mulia dan berilmu luas, menyatu dan sangat melekat kental serta terlihat nyata dan jelas pada Hadrotusy-Syeikh Romo KH Ahmad Asori Al Ishaqi RA ketika Beliau masih Sugeng. Dan, sekarang ini, terlihat juga pada Al-Habib Al-Alim Al Allamah As-Sayyid Umar bn Hamid Al-Jiilani RA. Sub-haanallah.

Robbi Fan-fa’naa Bi BarkatiHhimaa
WaHhdinal-Husnaa Bi HurmatiHhimaa
Wa Amitnaa Fii ThoriiqotiHhimaa
Wa Mu’aafatin Minal-Fitani
Aamiiin.

1 komentar:

  1. Semoga orang orang yg pernah mengenalnya, orang orang yang pernah melihatnya, orang orang yang mencintainya, dan orang orang yang telah menjadi murid beliau RA... dapat meniru dan mencontoh akhlaq beliau RA.... Amin .. Alfatihah.

    BalasHapus